Pengertian Nikah Mut’ah
Mut’ah
berasal dari kata tamattu’ yang berarti senang-senang atau menikmati.
Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang
wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu,
pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah
ditentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat
tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya sebelum
meninggal dan berakhirnya masa nikah mut’ah itu.
Bentuk pernikahan
ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau
saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu
tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak
lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar
kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan
dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita
monopouse, dua kali haidh bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh
hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika
disyaratkan.
Al-Qurtubi menukil pendapat seorang ahli tafsir, Ibnu
‘Athiyah Al-Andalusi, bahwa Nikah Mut’ah adalah “Seorang lelaki menikahi
wanita dengan dua orang saksi dan izin wali hingga waktu tertentu,
tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya. Si lelaki memberinya uang
menurut kesepakatan keduanya. Apabila masanya telah berakhir, maka si
lelaki tak mempunyai hak lagi atas si wanita, dan si wanita harus
ber-istibra’/membersihkan rahimnya. Apabila tidak hamil, maka ia
dihalalkan menikah lagi dengan lelaki lainnya.” Al-Qurtubhi mencela
pendapat yang tidak mempersyaratkan adanya persaksian. Kata A-Qurthubi,
“Hal itu adalah perzinaan. Sama sekali tidak dibolehkan dalam Islam.”
Nikah mut’ah awalnya dimulai dari medan perang. Kala itu, mayoritas
tentara Islam adalah dari golongan pemuda, yakni pria lajang yang tak
sempat mengikat dirinya dengan ikatan benang kasih di bawah atap
pernikahan. Sebagai manusia biasa, bersama gelora darah jihadnya di
padang pasir untuk menancapkan syiar Islam, gelora birahi mereka sebagai
gejala fitrah insani juga ikut menggejolak, menuntut untuk segera
dipenuhi. Mereka menncoba memasung goncatan syahwat itu dengan melakukan
kontak senjata dengan tentara musuh, maka puasa bukanlah solusi efektif
untuk meredam hasrat jiwa yang menyiksa, karena fisik mereka menjadi
lemah. Kondisi inilah yang kemudian mengantar ide disyariatkannya nikah
mut’ah atau masyhur disebut “kawin kontrak”. Fakta sejarah ini
dibuktikan dengan beredarnya banyak hadits yang melegalkan nikah mut’ah
untuk prajurit yang sedang berperang.
Dari kilas balik sejarah ini,
jelas terbaca bahwa disyariatkannya nikah mut’ah hanya pada saat
terjadi perang,, yakni di saat para sahabat berpisah dengan keluarga
tercinta untuk menunaikan tugas suci, jihad. Seperti pada waktu
terjadinya perang Khaibar, Umrah Qadha, Fathu Makkah, perang Authas,
perang pasca-Fathu Makkah, perang Tabuk, dan pada saat Nabi melakukan
haji wada’. Di sanalah mereka diberi keringanan oleh baginda nabi untuk
nikah dengan penduduk di tempat mereka mempertaruhkan nyawa untuk
membela agama. Setelah selesai perang, putuslah tali pernikahan itu
karena kontraknya telah habis.
Lalu, bolehkah kita mempraktikkannya
saat ini? Terjadi silang pendapat antara golongan Sunni dan Syi’ah
menyoal keabsahan praktik nikah mut’ah untuk masa sekarang. Imam Nawawi
sebagai duta dari golongan Sunni menuturkan siklus haram-halalnya nikah
mut’ah. Pada masa pra perang Khaibar dan pada tahun yang sama nikah
mut’ah diharamkan kembali. Sebaliknya, pada Fathu Makkah (perang Authas)
nikah mut’ah sempat dilegalkan dan diabsahkan, tetapi setelah itu untuk
selamanya tidak ada lagi pintu masuk untuk melakukan akad nikah seperti
itu. Pendek kata, menurut mazhab Sunni, nikah mut’ah hukumnya haram.
Pendapat ini dilandaskan pada hadits Nabi:
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ
إِبْرَاهِيْمَ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيْمُ
بْنُ سَعْدٍ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الرَّبِيْعِ بْنِ سَبْرَةَ
الْجُهَنِيِّ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ
صل الله عليه وسلم بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِيْنَ دَخَلَنَا مَكَّةَ
ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا
“Telah
menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami
Yahya bin Adam telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari
Abdul Malik bin Ar-Rabi’ bin Sabrah Al Juhani dari Ayahya dari Kakeknya
dia berkata: Rasulullah SAW pernah memerintahkan nikah mut’ah pada saat
penaklukan kota Makkah dan Kami tidak keluar (dari Makkah) melainkan
beliau telah melarangnya.” (HR. Imam Muslim).
Sementara mazhab
Syi’ah dengan tegas tetap mengizinkan dan membolehkan dilaksanakannya
nikah mut’ah di era modern ini. Walaupun andalan argumen mereka tetap
merujuk pada pendapatnya Ibnu Abbas. Golongan Syi’ah membantah pendapat
yang mengatakan bahwa nikah mut’ah hanya berlaku pada saat terjepit
dengan menganalogikannya pada kasus memakan bangkai dan darah. Nampaknya
penyamaan itu kurang relevan. Kelompok yang dalam sejarah dikenal
sebagai kelompok ahlul bait ini memasang beberapa syarat untuk
meresmikan nikah mut’ah sehingga mendapat justifikasi agama. Untuk
perempuan yang akan dinikah tidak disyaratkan Muslimah, boleh dari
perempuan kitabiyah (Nasrani atau Yahudi). Syarat selanjutnya, harus ada
perjanjian hitam di atas putih tentang mahar (maskawin) dan batas waktu
kontrak. Sementara untuk soal wali dan saksi kelompok ini tidak
mewajibkannya.
Pendapat mazhab Syi’ah ini tampaknya memiliki
kelemahan metodologi Istidlal karena Ibnu Abbas sendiri yang menjadi
pijakan pendapat mereka telah menarik kembali komentarnya yang
membolehkan nikah mut’ah.
Allah SWT telah berfirman:
•
"Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali
terhadap isteri atau jariah mereka: maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela"(QS. Al-mukminun: 5-6).
Ayat ini jelas mengutarakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan
kepada wanita yang berfungsi sebagai isteri atau jariah. Sedangkan
wanita yang diambil dengan jalan mut`ah tidak berfungsi sebagai isteri
atau sebagai jariah.
Semua ulama dan fukaha sepakat mengharamkan
nikah mut’ah, berdasarkan hadits-hadits shahih yang secara tegas
mengharamkan nikah mut’ah. Nabi SAW telah menjelaskan, bahwa keharaman
nikah mut’ah itu untuk selama-lamanya sampai hari kiamat. Sebagaimana
dalam hadits riwayat Saburah bin Ma’bad Al-Juhani:
وحَدَّثَنِي
سَلَمَةُ بْنُ شَبِيبٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ أَعْيَنَ حَدَّثَنَا
مَعْقِلٌ عَنْ ابْنِ أَبِي عَبْلَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ
قَالَ حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ
الْمُتْعَةِ وَقَالَ أَلَا إِنَّهَا حَرَامٌ مِنْ يَوْمِكُمْ هَذَا إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ كَانَ أَعْطَى شَيْئًا فَلَا يَأْخُذْهُ
“Dan telah menceritakan kepadaku Salamah bin Syabib telah menceritakan
kepada kami Al Hasan bin A'yan telah menceritakan kepada kami Ma'qil
dari Ibnu Abi Ablah dari Umar bin Abdul Aziz dia berkata; Telah
menceritakan kepada kami Ar Rabi' bin Sabrah Al Juhani dari ayahnya
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang melakukan nikah
mut'ah seraya bersabda: "Ketahuilah, bahwa (nikah mut'ah) adalah haram
mulai hari ini sampai hari Kiamat, siapa yang telah memberi sesuatu
kepada perempuan yang dinikahinya secara mut'ah, janganlah mengambilnya
kembali.” (HR. Imam Muslim).
Ulama Ahlussunnah wal Jamaah
menjelaskan: Nikah mut’ah pada permulaan Islam memang dibolehkan,
kemudian dinasakh. Oleh sebab itu, nikah mut’ah dilarang dan hukumnya
haram sampai kini dan seterusnya.
Tentang pendapat Syi’ah yang
memperbolehkan nikah mut’ah itu tidak dapat diterima, karena berlawanan
dengan nash-nash al-Qur’an, al-Hadits dan ijma’ ulama Islam dan imam
ahli ijtihad.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ
نُمَيْرٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُيَيْنَةَ قَالَ
زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ
الْحَسَنِ وَعَبْدِ اللَّهِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ
أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ
الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar
bin Abi Syaibah dan Ibnu Numair serta Zuhair bin Harb semuanya dari Ibnu
'Uyainah. Zuhair mengatakan; Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin
'Uyainah dari Az Zuhri dari Al Hasan dan Abdullah bin Muhammad bin Ali
dari ayahnya dari Ali bahwa pada saat perang Khaibar, Nabi shallallahu
'alaihi wasallam melarang melakukan nikah mut'ah dan melarang memakan
daging keledai jinak.” (HR. Imam Muslim).
Hadits ini adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Ali ra .dari Rasulullah SAW. Bagaimanakah
orang-orang Syi’ah menghalalkan nikah mut’ah? Imam Ibnu Hajar
al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari mengutip dari Imam al-Khatthabi,, ia
berkata: Pengharaman nikah mut’ah itu seperti menjadi ijma’, kecuali
menurut sebagian orang nikah mut’ah itu seperti menjadi ijma’, kecuali
menurut sebagian orang Syi’ah. Padahal menurut Padahal menurut riwayat
yang shahih dari Imam Ali, bahwa nikah mut’ah telah dinasakh. Dengan
demikian, maka klaim golongan Syi’ah tentang kehalalan nikah mut’ah
adalah batil.